Sulistyo Sri Rahayu klarifikasi terkait namanya yang kerap dicatut dalam berita kasus dugaan penipuan sindikat mafia tanah dengan modus properti

PESAWARAN (Berita+62) – Sulistyo Sri Rahayu, seorang Notaris sekaligus Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), memberikan klarifikasi terkait namanya yang kerap dicatut dalam berita kasus dugaan penipuan sindikat mafia tanah dengan modus properti. Kasus ini diduga melibatkan pasangan suami-istri Ade Feri Octara dan Anis Rosita.

Dalam pernyataannya, Sulistyo Sri Rahayu mengatakan bahwa dirinya tidak terlibat sama sekali dalam praktik ilegal tersebut.

Ia menegaskan bahwa perannya sebagai notaris hanya sebatas pencatat dan penyusun akta perjanjian atau pengikatan berdasarkan data dan dokumen yang dibawa oleh kedua belah pihak, yakni penjual dan pembeli.

“Saya selaku notaris hanya menerima permohonan untuk dibuatkan akta perjanjian atau pengikatan. Data yang saya terima adalah dokumen-dokumen dari kedua belah pihak, kemudian saya tuangkan ke dalam bentuk akta sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan pembeli,” ujar Sulistyo Sri Rahayu.

Lebih lanjut, Sulistyo menekankan bahwa ia tidak memiliki kewenangan untuk menentukan harga atau nilai transaksi. Semua keputusan mengenai nilai jual beli merupakan kesepakatan antara penjual dan pembeli.

“Tugas saya hanya mencatat, bukan menentukan harga. Nilai transaksi itu ditentukan sepenuhnya oleh kedua belah pihak. Saya hanya menuangkannya dalam akta dan daftar perjanjian berdasarkan kwitansi yang ada,” tegasnya.

Menanggapi adanya indikasi kwitansi yang menggunakan kop kantor notaris miliknya, Sulistyo menjelaskan bahwa ia tidak bisa memberikan keterangan lebih lanjut. Menurutnya, pada saat itu, proses yang berlangsung melibatkan saksi, dan penjelasan terkait pembuatan kuitansi tersebut akan disampaikan oleh pihak saksi.

“Terkait kwitansi yang menggunakan kop kantor saya, saya tidak bisa menjelaskan sendiri karena yang membuat adalah saksi. Nanti saksi yang akan menjelaskan,” kata Sulistyo.

Dalam pernyataannya, Sulistyo Sri Rahayu juga menegaskan akan mengambil langkah hukum terhadap tudingan yang dinilainya merugikan. Ia menyebut pemberitaan yang menyangkutkan dirinya dengan dugaan mafia tanah sangat merusak reputasinya sebagai seorang notaris profesional.

“Saya tegaskan, tudingan tersebut sangat merugikan saya. Oleh karenanya, saya akan mengambil langkah hukum untuk menyikapi pemberitaan yang sudah beredar,” ujarnya.

Selain itu, Sulistyo juga menghormati langkah hukum yang dilakukan oleh Mutia Sari, pihak yang melaporkan kasus ini. “Itu adalah haknya sebagai warga negara untuk menempuh jalur hukum,” tambahnya.

Dengan adanya pemberitaan yang berkembang, Sulistyo berharap semua pihak dapat memahami posisi dan perannya sebagai notaris yang hanya bertindak sebagai pencatat kesepakatan kedua belah pihak. Jika polemik ini berlanjut, ia memastikan akan menempuh upaya hukum demi menjaga nama baik dan profesionalismenya.

Sementara itu, Bambang dalam keterangannya sebagai saksi, menjelaskan peran dirinya dalam proses penyerahan uang antara kedua belah pihak. Menurut Bambang, pada saat itu Ibu Mutia Sari menyerahkan uang kepada Anis dan Adel, yang kemudian dihitung oleh Wulandari.

“Untuk masalah kwitansi, pada waktu itu Ibu Mutia Sari melakukan penyerahan uang ke saudara Anis, Adel dan dihitung oleh Wulandari. Setelah selesai dihitung, Mutia Sari meminta kuitansi kepada saya, tetapi waktu itu saya menolak dengan tegas,” ujar Bambang.

Namun, atas permintaan berulang dari Mutia Sari, Bambang akhirnya menandatangani kwitansi tersebut.

“Setelah selesai ditulis, saya serahkan ke Ibu Mutia untuk ditandatangani saudara Anis dengan Adel. Tetapi waktu itu Ibu Mutia Sari menolak kwitansi biasa. Dia meminta kwitansi yang ada kop notaris Ibu Sulistyo Sri Rahayu,” tambahnya.

Lebih lanjut, Bambang menegaskan bahwa transaksi tersebut tidak diketahui dan tidak diikuti oleh Sulistyo Sri Rahayu selaku notaris. Semua dilakukan atas permintaan Mutia Sari.

“Itu semua permintaan Ibu Mutia Sari sehingga saya mengambilkan kwitansi yang ada kop suratnya. Ini permintaan Ibu Mutia Sari, bukan permintaan dari Ibu Sulis. Setelah saya serahkan, Ibu Mutia Sari menyuruh saya tanda tangan. Dengan mudahnya, dengan bodohnya, dan dengan kelalaian saya, saya yang menandatangani waktu itu,” tutup Bambang.

Kemudian Antoni Harun, selaku ketua team pendamping hukum dari Lembaga Perlindungan Konsumen Gerakan Perubahan Indonesia (LPK-GPI) Kota Bandar Lampung, menegaskan bahwa pihaknya meminta agar para pihak terkait, yakni Adel Anis Wulandari dan Mutia Sari, dihadirkan dalam perkara tersebut.

“Kami memandang bahwa kehadiran mereka sangat penting untuk memperjelas duduk perkara ini sejelas-jelasnya. Langkah hukum selanjutnya akan kami lihat dan pertimbangkan setelah itu,” ujar Antoni Harun.

Menurutnya, kejelasan dalam perkara ini harus menjadi prioritas agar semua pihak bisa memahami permasalahan yang ada secara transparan. Langkah ini juga dinilai sebagai upaya untuk memastikan proses hukum berjalan dengan adil dan terbuka.

Lembaga Perlindungan Konsumen Gerakan Perubahan Indonesia (LPK-GPI) Kota Bandar Lampung berkomitmen untuk mengawal kasus ini hingga tuntas.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *