Viral Ucapan “Tak Ada Tanah Adat di Lampung”, Kesbangpol Mesuji Klarifikasi dan Minta Maaf

Bandar Lampung (kaganga.id)– Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Mesuji M. Taufik Widodo berdalih terkait beredarnya video yang menampilkan dirinya seolah-olah menyatakan bahwa di Lampung tidak ada tanah adat.

Saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Minggu (11/10/2025), Taufik menegaskan bahwa pernyataan tersebut tidak benar secara utuh karena video yang beredar telah dipotong dan tidak menampilkan keseluruhan konteks pembicaraan.

“Yang viral itu tidak utuh. Pernyataan saya saat itu menjelaskan hasil konsultasi kami dengan pihak Fakultas Hukum Unila, bukan pendapat pribadi saya,” tegasnya.

Taufik menjelaskan bahwa konteks pembicaraan tersebut berawal dari kompleksitas konflik agraria antara kelompok warga Mencurung dengan PT Sumber Indah Perkasa (SIP) yang telah berlangsung sejak tahun 2019.

Menurutnya, berbagai upaya mediasi telah dilakukan oleh pihak kepolisian, pemerintah daerah, dan DPRD Mesuji, namun belum mencapai kesepakatan bersama.

“Dari tahun 2019 sudah dilakukan beberapa kali mediasi dan dibuat surat perjanjian bersama, tapi selalu gagal. Terakhir, kami menyarankan agar kedua pihak menempuh jalur hukum—baik perdata, pidana, maupun tata usaha negara,” ujar Taufik.

Taufik menambahkan, pemerintah bersama Forkopimda Mesuji berupaya berhati-hati agar tidak merugikan salah satu pihak. Karena itu, mereka melakukan serangkaian konsultasi lintas lembaga, baik di tingkat daerah maupun pusat.

Konsultasi dilakukan ke BPN Kabupaten dan Provinsi, Kementerian ATR/BPN, Komnas HAM, Komnas Perempuan, hingga KPAI, mengingat dalam kasus tersebut juga terdapat kelompok perempuan dan anak-anak yang terdampak.

“Kami ingin setiap langkah sesuai aturan dan memperhatikan hak-hak masyarakat. Karena itu kami juga berkonsultasi ke banyak lembaga agar tidak ada yang terlanggar,” jelasnya.

Selain itu, Pemkab Mesuji dan kepolisian juga sempat berkonsultasi ke Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) dan bertemu dengan Prof. EH Sumarja untuk meminta penjelasan mengenai administrasi dan dokumen pertanahan.

Menurut penjelasan akademis tersebut, sejak tahun 1952 terjadi pengalihan sistem dari marga ke negeri, sehingga tanah-tanah marga yang tidak lagi dikelola diambil alih oleh negara, sementara tanah yang masih dikelola masyarakat menjadi milik masyarakat.

“Penjelasan itulah yang kami sampaikan kembali dalam forum, dan bagian itulah yang kemudian dipotong dalam video hingga menimbulkan salah tafsir,” kata Taufik.

Taufik menegaskan bahwa dirinya tidak pernah bermaksud menyinggung atau menafikan sistem adat di Lampung. Ia hanya menyampaikan hasil konsultasi terkait administrasi pertanahan, bukan menyatakan pendapat pribadi.

“Saya sangat menghormati dan mencintai Lampung. Saya menyadari ucapan saya menimbulkan salah paham, dan untuk itu saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat Lampung serta para tokoh adat,” ujarnya.

Sebagai pejabat daerah, Taufik berharap klarifikasi ini dapat meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.“Dan menjaga hubungan baik antara pemerintah dengan masyarakat adat di Lampung,”tandasnya.

Sementara, Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila), Prof. Dr. Hamzah mengungkapkan, bahwa  Fakta-fakta yang menunjukkan keberadaan Tanah Adat di Lampung ada beberapa point yang harus dipahami.

”Pertama_Pengakuan Hak Ulayat, Masyarakat hukum adat di Lampung memiliki dan memperjuangkan hak atas tanah ulayat mereka. Ini termasuk masyarakat dari berbagai Marga dan wilayah, seperti di Pesawaran, Tulang Bawang, dan wilayah adat lainnya,”katanya

Kemudian,Kedua, Konflik Agraria, Adanya konflik agraria terkait klaim Tanah Adat (ulayat) dengan pihak lain, seperti perusahaan perkebunan, menjadi bukti nyata bahwa tanah adat tersebut eksis dan diakui serta diperjuangkan oleh masyarakat adat.

”Ketiga_ Dasar Hukum Adat: Sistem hukum adat Lampung (termasuk Pepadun dan Sai Batin) mengenal dan mengatur tentang wilayah adat dan tanah ulayat, yang pengurusan, penguasaan, dan penggunaannya dilakukan secara komunal oleh masyarakat adat,”jelasnya

Keempat, Jenis-jenis Wilayah Adat, Terdapat berbagai jenis wilayah yang dikelola secara adat, seperti Repong (kebun campuran), Hulu Tulung (daerah larangan), Komplek Pemakaman tua (Kerahmat), dan Nuwo Sessat (Balai Adat).

“Dengan demikian, klaim bahwa di Lampung tidak ada Tanah Adat adalah keliru, keberadaan hak ulayat atau tanah adat di Lampung adalah fakta yang diakui dan terus diperjuangkan,”tutupnya.

 

(Hen)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *