Eva tiba di ruang kerja Gubernur sekitar pukul 11.05 WIB, Senin siang, (14/7/2025) didampingi Sekretaris Kota Iwan Gunawan dan Inspektur Kota Robby.
Di pihak Provinsi, Gubernur Mirza didampingi Sekda Marindo Kurniawan, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Riski Sofyan, serta pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Pertemuan itu berlangsung di tengah sorotan publik atas SMA Siger sekolah menengah atas swasta bentukan Yayasan Siger Prakarsa Bunda yang diprakarsai Eva Dwiana.
Sekolah ini menerima siswa baru untuk tahun ajaran 2025/2026 tanpa mengantongi rekomendasi dari Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung, Thomas Amirico, mengaku belum menerima dokumen apapun soal izin SMA Siger.
“Pendirian SMA itu kewenangan provinsi, bukan kota atau kabupaten. Sampai hari ini belum ada dokumen dari yayasan,” kata Thomas, Jumat lalu.
Meski mengakui niat Eva mendirikan SMA gratis patut diapresiasi, Thomas mengingatkan bahwa pendirian sekolah tetap harus mengikuti prosedur hukum.
Hal senada disampaikan akademisi Universitas Lampung, M. Thoha B. Sampurna Jaya.
Ia menilai ide Eva membuka akses pendidikan patut dihargai, namun mengabaikan prosedur bisa jadi blunder.
“Semangatnya baik, tapi niat saja tidak cukup. Kalau tidak sesuai prosedur, bisa berisiko hukum dan pendidikan anak-anak,” ujar Thoha.
Dukungan datang dari Johan Syahril, Ketua Umum Ormas Garuda Berwarna Nusantara. Menurutnya, Eva adalah pemimpin yang berani mencari solusi pendidikan.
“Ini bukti kepedulian konkret,” ujarnya.
Namun, kritik terus berdatangan. Anggota Komisi V DPRD Lampung, Andika Wibawa, mengingatkan pentingnya legalitas.
“Anak-anak bisa jadi korban jika sekolah tidak punya izin dan ijazah mereka tidak diakui negara,” kata Andika.
Gunawan Handoko dari Komunitas Minat Baca Indonesia mengingatkan penggunaan gedung SMP negeri untuk operasional SMA Siger bisa memicu konflik.
“Kepala sekolah dan guru SMP negeri pasti khawatir kegiatan belajar terganggu. Tapi tak bisa menolak kebijakan wali kota,” ujarnya.
Ia menyarankan Pemkot tak tergesa.
“Selesaikan dulu seluruh persyaratan: gedung sendiri, standar fasilitas, tenaga pengajar. Kalau belum siap, titipkan dulu siswa ke SMA swasta yang sudah ada,” kata Gunawan.
Sebagai pengamat dari PUSKAP, Gunawan juga menyoroti peran Disdikbud Provinsi yang tak boleh tinggal diam.
“SMA itu kewenangan pemprov, termasuk soal kurikulum dan standar. Tak bisa diabaikan begitu saja,” ujarnya.














