Akar Akan Laporkan Kegagalan Proyek SIMRS Abdul Moeloek ke APH

BANDAR LAMPUNG – Kegagalan Program SIMRS di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung patut menjadi evaluasi Gubernur Lampung yang Baru.

 

Program SIMRS yang sejatinya merupakan sistem teknologi informasi komunikasi di rumah sakit untuk memproses dan mengintegrasikan alur proses pelayanan rumah sakit dengan lancar dan baik dalam memberikan pelayanan kesehatan yang lebih cepat dan efisien hingga memudahkan interaksi secara langsung dengan sistem BPJS, mulai dari proses klaim, verifikasi kepesertaan, dan pengelolaan administrasi pasien yang terdaftar dalam program BPJS Kesehatan.

 

Namun sangat disayangkan, program yang dirancang sedemikian rupa dengan nilai Anggaran yang ditargetkan untuk membayar Program SIMRS hingga Puluhan Milyar ini nyatanya amburadul dan kini telah terbongkar boroknya.

 

Dengan salah satu diantaranya adalah adanya kericuhan di internal RSUD Abdul Moeloek antara Pejabat dan Pegawai rumah sakit di Audotorium Cinema Rumah Sakit ini pada senin (17/2/2025) lalu terkait dengan masalah serius tertundanya pembayaran Klaim dana jasa pelayanan oleh BPJS akibat adanya sekitar 12 ribu berkas data Pasien BPJS yang belum terinput, bahkan tidak menutup kemungkinan tidak akan dibayar sama sekali oleh pihak BPJS akibat ketidakberfungsinya sistim SIMRS yang ada.

 

DPP Akar Lampung sejak awal sudah mencurigai program keberlanjutan SIMRS RSUD Abdul Moeloek ini, TA 2020 dengan HPS Anggaran senilai Rp. 32.378.176.000,- yang dikelola oleh PT Buana Varia Komputama (PT BVK) , dimana sebelumnya Program SIMRS RSUDAM ini dikelola oleh PT Neural Technologies Indonesia (PT NTI) yang merupakan perusahaan pelaksana dan pengelola SIMRS RSUDAM tahun 2014 hingga tahun 2019 yang artinya pengelolaan SIMRS ini terkontrak per Lima Tahun.

 

Dari hasil data yang diperoleh oleh Devisi Litbang Akar Lampung jika metode pembayaran terhadap penyedia kegiatan SIMRS ini di bayar melalui kontrak secara royalti yaitu sebesar 2,53% dari pendapatan RSUDAM sendiri, sebut saja seperti per 31 Desember 2020 senilai anggaran Rp. 5.292.055.905,- yang dibayarkan kepada pihak ketiga tersebut oleh RSUDAM, sudah pastinya bukan sedikit dana yang digelontorkan melalui Anggaran BLUD RSUDAM.

 

Dari awal proses yang lelangnya kegiatan ini oleh pihak RSUDAM sudah menuai kecurigaan Kami, dari dugaan tidak dilelangnya proyek SIMRS melalui layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) dan dan tidak diumumkan melalui sistem rencana umum pengadaan (SIRUP), dimana Pihak RSUDAM hanya mengumumkan lelang kegiatan tersebut melalui pemasangan informasi lelang yang dilakukan dengan menempelkan kertas pengumuman di Lobi gedung Administrasi RSUDAM menguatkan jika adanya indikasi pengondisian yang tersistematis oleh pihak RSUDAM terhadap pengelola kegiatan tersebut,

 

Secara jelas telah menyalahi aturan Pengadaan dan penyediaan Barang Jasa serta PP No 12 Tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan daerah, Permendagri No 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) serta Perpres No 12 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa .

 

Ditambah lagi dalam proses penyusunan HPS yang merupakan tanggungjawab panitia lelang indikasinya, tidak memiliki dasar harga dan perhitungan yang jelas, karena panitia tidak memiliki data dan dokumentasi hasil survey atas harga-harga peralatan yang terdapat dalam item pekerjaan tersebut.

 

Sehingga atas hal tersebut, HPS yang disusun oleh panita lelang disinyalir HPS tidak terukur berdasarkan pertimbangan yang jelas, dan dari data yang Kami miliki dugaan kuat HPS disusun justru oleh PT. NTI yang merupakan perusahaan pelaksana dan pengelola SIMRS RSUDAM tahun 2014 hingga tahun 2019 sebelum PT BVK saat ini.

 

Perkara dugaan Kongkalikong pada prealisasian program SIRMS ini sangat Kami duga kuat terjadi antara pihak pemegang kebijakan di RSUDAM dengan pihak ketiga tersebut, mengingat pengelolaan dan pembayaran jasa kegiatan menggunakan Anggaran yang dikelola oleh Rumah Sakit sendiri dalam hal ini menggunakan Anggaran Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUDAM yang berasal dari royalti pendapatan RSUDAM, tidak menutup kemungkinan adanya dugaan telah terjadi peroses PENCUCIAN UANG dalam pengelolaan kegiatan tersebut yang melibatkan pemegang kebijakan di RSUDAM dan Pihak ketiga atas nilai persentase yang dibayarkan.

 

Selain persoalan diatas, Kami menduga jika Pihak RSUDAM telah menyadari jika dalam berjalannya kegiatan SIMRS ini telah menunjukan tidak maksimal dan oftimal, dengan Kembali dianggarkannya lagi kegiatan belanja Jasa Pengembangan SIMRS senilai Dua Milyar rupiah di Tahun 2024 melalui LPSE yang ada. Namun, info yang kami dapat lelang Pengembangan SIMRS ini dibatalkan tampa alas an yang jelas.

 

Ketidakmaksimalan berjalannya program SIMRS ini pun terbuka dimata publik dengan kekisruhan yang terjadi di RSUDAM beberapa waktu lalu sangat berdampak, jika kemudian pihak BPJS tidak melakukan pembayaran sama sekali terhadap ribuan data Klaim BPJS yang terlambat diinput akibat ketidakberfungsinya sistim SIMRS tersebut, maka RSUDAM dipastikan akan sangat merugi terlebih Oprasional Pengelolaan rumah sakit sangat bergantung dari pengelolaan Anggaran BLUD yang diperoleh diantaranya dari pembayaran pihak BPJS, selain itu juga dikhawatirkan akan resiko keamanan data pasien yang rentan terjadinya penyalahgunaan atau pelanggaran keamanan yang terdata pada program SIMRS tersebut.

 

Selain atas dampak diatas, dampak yang kami nilai juga akan timbul akibat buruknya ketidakberfungsinya sistim SIMRS RSUDAM saat ini akan menghambat peroses pelayan di RSUDAM yang tidak menutup kemungkinan kembali dilakukan dengan sistim manual, bahkan lebih parahnya dikhawatirkan akibat tidak maksimalnya pendapatan RSUDAM atas klaim dan BPJS yang terhambat ini akan meningkatkan resiko meningkatnya biaya pelayanan kesehatan di RSUDAM.

 

Ditengah kondisi Keuangan Daerah yang saat ini mengalami efisiensi dan Devisit Anggaran, mestinya pihak Manajemen RSUDAM dapat mengaca diri dan dapat mengelola Anggaran BLUD RSUDAM sebaik mungkin.

 

Kami dari DPP Akar Lampung pastinya meminta dan mendesak Gubernur Lampung yang baru untuk secepatnya mengambil langkah progresif, pasti utamanya mengevaluasi kinerja Pejabat RSUDAM dan dilakukannya Audit pengelolaan Anggaran BLUD secara mendalam, guna mempermudah evaluasi dan pemeriksaan saran Kami kepada Bapak Gubernur Lampung terlebih untuk segera menonaktif Direktur RSUDAM saat ini.

 

Selain itu Kami juga meminta DPRD Provinsi Lampung dalam hal ini pada Pihak Komisi V DPRD Lampung untuk membentuk pansus dalam mendalami kebobrokan pengelola kegiatan di RSUDAM saat ini.

 

Kami atas nama DPP Akar Lampung sebagai salah satu Lembaga Penggiat Anti Korupsi Lampung, akan meneruskan persoalan ini yang akan Kami Laporkan pada Pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Dirtipikor Polda Lampung besok senin, 24 Februari 2024 untuk segera ditindaklanjuti, mengingat pengelolaan program SIMRS diatas sarat dengan nuansa KKN. (RED)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *